Tokyo…
Seperti biasa, kota ini selalalu terlihat begitu
indah. Indah, romantis.. Sudah jam 10 malam namun Tokyo masih begitu
ramai dengan warna warni toko toko dan
kumpulan manusia dijalan, Tak peduli
pada dinginnya malam pra-natal.
Natal… hah, sebentar
lagi aka nada perayaan natal besar besaran di Tokyo aka ada perayaan natal yang
sangat spektakuler yang diselanggarakan
di Tokyo dengan pesta kembang api dll.. ¬Bodo amat, aku tidak tertarik. Bagiku,
hari Natal sama seperti hari lain. Datar. Tak ada istimewanya. Tapi, mengapa
orang-orang begitu antusias menyambut Natal? Mereka bilang natal adalah hari
yang indah, penuh keceriaan, kegembiraan, cinta.. Apalagi jika berkumpul dengan
keluarga.
Aku tak mengerti.. Tak akan pernah mengerti karena aku sendiri
tak pernah merayakan Natal. Ibuku sudah meninggal sedangkan ayahku.. Cih,
boro-boro merayakan Natal dengannya, mengobrol saja kami sangat jarang. Beliau
lebih sering menghabiskan waktu dengan alkohol dan pulang larut malam. Ia tak pernah bertanya tentang apa yang aku
rasakan, aku pikirkan. Jujur aku kesepian.
Sampai akirnya, setelah lulus SMA aku memutuskan untuk pergi
meninggalkan rumah sembari kerja paruh waktu. Ya, melakukan apapun yang aku
suka, aku inginkan dengan uang hasil keringatku sendiri. Hingga akhirnya aku
bisa berada di kota Tokyo ini dengan hasil jerih payahku sendiri. Hingga sampai
saat ini aku tidak kembali ke rumah sama sekali..
Manikmati biscuit stik sembari meminum coklat panas adalah
cara terbaik bagiku untuk menikmati libur cuti natal yang diberi perusahaan
kepadaku. Ah, sudah lama aku tak sesantai ini. Ketika aku sedang menikmati
makanan semari bermalas malasan tiba tiba telpon apartemen ku berbunyi.
Akhirnya aku berjalan menuju telpon dengan jalan malas
“Halo?” kataku dengan suara berat,
malas.
“Halo, Tn Fikri. Saya resepsionis APARTEMENT. Ingin mengkonfirmasi ada
seseorang yang ingin bertemu
dengan anda. Namanya, Dilla. Apa benar anda
mengenalnya?”
Beberapa detik aku terdiam sembari berfikir, apakah aku
punya kenalan yang bernama dilla?
“Um, siapa dia ? rasanya saya tidak mengenalnya”
“Apakah anda sudah yakin tidak mengenal wanita yang bernama
Dilla ?”
Sekali lagi, aku mencari cari nama “dilla” didalam memori
otakku, mencoba mengingat siapa dia. Akhirnya aku ingat akan seorang gadis lucu
yang bisa membuatku tertawa lepas saat masih kecil, dia adalah sahabatku.
“Ohh.. iya iya, saya mengenalnya. Suruh ia menunggu di loby nanti saya akan
kesana untuk menjemputnya” Jawabku menutup pembicaraan sembari berlari menuju
loby
Dilla, sudah lama kita tidak bertemu, aku merindukannya.
Tapi bagai mana bisa ia menemukan ku di kota Tokyo yang padat akan penduduk ini
? ucapku dalam hati
Tak sabar, aku keluar lift dengan tergesa gesa dan menemukan sesosok wanita cantik berkulit putih tengah melambaikan tangannya kearahku sembari tersenyum manis. Ternyata ia tidak berubah.
Tak sabar, aku keluar lift dengan tergesa gesa dan menemukan sesosok wanita cantik berkulit putih tengah melambaikan tangannya kearahku sembari tersenyum manis. Ternyata ia tidak berubah.
“Dilla..” kataku dengan mata yang berbinar-binar. Sudah lama
aku merindukan pertemuan seperti ini.
“Bagaimana bisa kamu nemuin aku disini?”
“Mmm.. ada deh, gak susah kok nyari imgran dari Indonesia di
jepang. Auulll…..” Jawabnya sembari tersenyum
Aul, Sudah lama aku tidak dipanggil dengan nama itu.
“Nah, kan kamu udah sampe disini. Gimana kalo kita makan
dulu, aku tau tempat makan yang enak “ Jawabku sebari tersenyum
Tak perlu menunggu lama, dia
langsung menganggukkan kepalanya. “Iya, sekalian ada sesuatu yang mau aku
omongin”
Nanyain kabar aku ?
Hah, menanyakan kabarku ? itu tidak mungkin, Bahkan untuk
sekedar memikirkan ku saja itu tidak mungkin, Mungkin ia juga tidak
mengharapkan aku kembali kerumah. Mungkin saat ini ayahku membenciku, tidak
maksudku ayahku pasi sangat membenciku..
Aku tertawa kecut sembari meminum coklat panas yang telah ku
pesan.
Dilla menggelengkan kepalanya sembari berkata, “Aku ngga
bercanda, Aul.Aku serius. Ayah kamu bener bener kangen sama kamu. Bener Aul..
Setiap hari dia duduk di teras rumah, nungguin kamu kalau-kalau kamu datang ke
rumah dengan wajah murung. Setiap hari, Aul.. Setiap hari..”
Dilla menekan beberapa kata yang membuat hatiku memberontak.
Menolak. “Untuk apa dia melakukan hal seperti itu? Seharusnya, dia tahu bahwa
aku tak akan pulang ke rumah.”
Jari jari dilla menggenggam erat cangkir minuman yang sedari
belum ia minum. Kepalanya menunduk dalam. Dia menggigit bibirnya sendiri. Tak
beberapa lama kemudian, dia terisak kecil. “Tentu saja dia melakukan itu!
Karena.. Karena kamu adalah ‘sesuatu’ yang harus dia lindungi, ‘sesuatu’ yang
harus dia jaga, ‘sesuatu’ yang sangat ia cintai.”
Kedua mataku membelalak kaget. Tertegun. Rahangku mengeras,
tak tahu harus berkata apa lagi.
“Pulanglah.. Ayahmu masih menuunggumu sampai sekarang ini.
Detik ini. Dia pasti akan sangat senang kalau kamu datang ke rumah. Sekali saja
untuk Natal ini.” Dilla melanjutkan perkataannya lagi. Kali ini, aku bisa
melihat air mata membasahi kedua pipinya. Aku menarik napas panjang. Mengapa
Dilla ingin sekali aku pulang ke rumah?
Aku menggigit jari ku
sambil berfikir. “Baiklah, aku akan
pulang.” Putusku pada akhirnya dengan terpaksa.
Dilla berhenti menangis. Dia menatapku lekat-lekat.
“Benarkah?”
Aku mengangguk malas. Dia tersenyum tipis dengan air mata
yang masih basah.
Aku memaksakan diriku untuk tersenyum. Kemudian. Dilla bangkit berdiri dan berpamitan padaku. “Sudah
jam 12 siang. Aku harus pergi ke bandara sekarang. Terima kasih sekali lagi
kamu sudah mau mendengarkanku.”
“E-eh, perlu aku antar?” kataku menawarkan diri.
Dilla menggeleng, “Engga usah, makasih. Sampai jumpa Aul.
Kita ketemu lagi di Indonesia yah .”
Kemudian, aku melihat tubuh mungilnya pergi melewatiku dan
menghentikan taksi di depan. Memberikanku lambaian tangan lalu pergi.
Sementara aku. Aku tidak langsung beranjak dari tempat
duduk. Sejenak, aku mencerna semua perkataan dilla .
Ternyata, penyakit
kesotoyan-nya itu belum hilang sejak dulu. Dari kecil, ia memang selalu
memberitahukanku tentang hal-hal baik yang ayah pikirkan tentangku. Namun, aku
selalu menyangkalnya dan tertawa kecil. It’s just in your imagination, my best
friend. Just only in your imagination.
Bagaimana bisa aku mempercayainya jika setiap aku pulang ke
rumah, kesunyianlah yang pertama kali menyambutku.
Tidak ada kata-kata sambutan
yang manis seperti yang biasanya orangtua katakan pada anaknya setiap pulang ke
rumah. Aku selalu menerima penghargaan tanpa ucapan selamat atau apapun dari
ayah. Ayah sibuk dengan dunianya sendiri. Hingga akhirnya, aku merasa tidak
dihargai lagi olehnya bahkan aku sempat meragukan statusku sebagai anak
kandungnya. Tahun demi tahun kucoba untuk bertahan. Melalui semua itu bersama
ayah.
Akan tetapi, beliau tak kunjung berubah. Malah, aku semakin merasa
kesepian.
Hingga akhirnya, pada kelas 2
SMA, aku memutuskan untuk mencari kerja sambilan. Menabung uang supaya bisa
kujadikan biaya hidup ketika aku pergi dari rumah ayah nanti dan mewujudkan apa
yang aku cita-citakan. Sampai akhhirnya, aku menemukannya.. di sini.. di kota
Tokyo. Setelahnya, aku tak pernah pulang dan memang aku tak pernah berencana
untuk pulang ke rumah. Aku benci dia…
Aku tak percaya. Aku benar-benar melakukan ini. Hal yang
dulunya tak pernah sedikit pun terbesit di benakku.
15 july aku kembali keindonesia
Keluar dari bandara dan melihat keadaan kota Tangerang.
Sungguh, 7 tahun akudi Tokyo , kota ini telah melakukan banyak perubahan.
Membuatku yang selama 18 tahun telah dibesarkan di Indonesia ini merasa asing di tanah kelahirannya
sendiri. Kuhirup udara dalam-dalam. Ah.. Bau ini.. Bau yang sudah lama tak
kuhirup. Bau korupsi *Canda
Akan tetapi, tujuanku ke sini bukan untuk memperhatikan
antara persamaan dan perbedaannya keadaan Indonesia yang dulu dengan yang sekarang. Aku kembali
untuk Dilla . Ya, untuk Dilla bukan
untuk ayah. Aku berdiri mematung di pinggir jalan raya, menunggu taksi kosong yang
bisa kutumpangi dan bertemu dengan nenekku yang sudah menungguku
Aku turun dari taksi bersama dengan nenekku. Aku tak
mengerti kenapa beliau membawaku kesini dan bukan langsung ke rumah. Mengikuti
nenek dengan langkah yang malas, Tak bersemangat. Kami sekarang berada di
Jakarta. Udara sangat panas. Aku berjalan sembari melihat lingkungan di
sekitarku. Tunggu dulu! Aku merasa familiar dengan ini. Tapi, apa pernah dulu
aku kesini?
Nenek menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Tatapannya
memandang ke arah taman yang begitu idah “Bunga bunganya indah yah, Kamu juga sewaktu kecil senang bermain disini
loh…”
Aku tersentak. Itu artinya aku memang pernah kesini. Tapi,
kapan? Sementara aku masih bertanya-tanya, nenek mengajakku duduk di sebuah
pondok kecil, di tepi padang bunga. Mau tak mau aku mengikutinya. Sejenak nenek
tersenyum, masih dengan kedua mata yang memandang padang bunga itu. “Pertama
kali kamu kesini ketika umurmu 11 tahun, ingat?”
Tiba-tiba, sebersit bayangan pun muncul di dalam otakku. Aku
seperti melihat padang bunga itu, indah dengan bunganya yang berayun-ayun
tertiup angin, disana aku tertawa lepas. Sangat bahagia. Berlari kesana dan
kemari tanpa menghiraukan rumput panjangnya yang bisa saja menyembunyikan hewan
reptil mengerikan. Entahlah… Aku tak tahu kenapa aku bisa berani seperti itu.
Mengingatnya aku jadi tersenyum sendiri.
“Tepatnya, setelah ibumu meninggal.” Lanjut Nenek. Membuat
senyumanku memudar begitu saja. “Tapi, nenek salut sama kamu. Kamu masih ceria
seperti biasa, tegar. Buktinya kamu masih bisa bermain disini dengan tertawa
lepas.” Puji nenek dengan menyunggingkan senyum dan menepuk pundakku sesaat.
Benar juga. Pada saat ibu meninggal, aku hanya menangis pada
hari itu. Namun, setelahnya, aku kembali ceria, seperti tidak terjadi apa-apa.
“Fikri…” panggil nenek.
“Ya?”
Nenek menghela napas sejenak, “Apakah kamu pikir ayahmu itu
jahat?”
Mengingat semua yang telah ayah lakukan untukku.
Mengacuhkanku, selalu sibuk dengan dunianya sendiri tentu saja tanpa berpikir
panjang aku menjawabnya, “Ya..”
Lagi, nenek menghela napasnya. Kali ini lebih panjang.
“Setelah kematian ibumu, ayahmu menjadi putus asa karena kehilangan salah satu
orang yang paling dia cintai. Akan tetapi, dia tidak bisa terus putus asa sebab
dia tahu bahwa ada satu orang lagi yang paling dia cintai masih bersama
dengannya, membutuhkan kasih sayang orangtua, dan membutuhkan bimbingan untuk
bisa menjadi pria sejati. Orang itu adalah… kamu.”
Aku tersentak kaget. Aku ingin mengelak perkataan nenek
namun rasanya mulutku terasa terkunci, sulit untuk digerakkan. Entah kenapa,
hatiku rasanya seperti mengatakan suatu pembenaran.
“Pada hari itu, ayahmu berjanji pada nenek akan membuatmu
menjadi pria yang kuat, yang ceria juga sehat dan supaya kamu bisa meraih semua
cita-citamu. Dan, sejak itulah, ayahmu berjuang paling keras seumur hidupnya.
Dia keluar dari pekerjaannya yang bergaji besar untuk mencari pekerjaan lain
yang memiliki banyak waktu luang. Agar dia bisa menjagamu, menemanimu. Dia
selalu membelikanmu mainan dan makanan dengan uangnya yang sedikit dan menabung
sisa uang yang dia miliki untuk pendidikanmu. Sedangkan ayahmu? Dia hanya makan
setelah kamu makan sampai kenyang.” Cerita nenek.
Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Kenangan-kenangan masa
kecilku dulu bersama ayah seperti berputar kembali. Mainan, jajan, cinta,
kebahagiaan, tawa.. kenapa aku bisa melupakan semua itu?
“Dia paling suka natal. Karena hari Natal adalah hari dimana
dia bisa bersama denganmu seharian. Mengajakmu berjalan-jalan. Ayahmu senang bisa membuatmu bahagia. Namun, lambat
laun kondisi seperti itu juga membuat ayahmu
sangat kelelahan sehingga ayahmu
lari ke alkohol. Hingga akhirnya, ketika kau bertumbuh dewasa, kabarnya
di antara kau dan ayahmu tercipta sebuah
jarak. Kalian tak lagi bisa bersama terus-menerus seperti dulu. Kau terlihat
enggan berbicara lagi dengan Ayahmu sehingga ayahmu pun memilih untuk diam
karena takut mengganggumu. Meskipun begitu, dia tetap memperhatikan keadaanmu.
Mencintaimu walau hanya dalam diam. Dia senang bisa melihatmu tumbuh semakin
dewasa, semakin tampan dan semakin pintar. Kau tahu? Dia selalu membanggakanmu
dengan para tetangga, pada nenek.”
Aku masih diam. Tak sanggup berkata-kata lagi sementara
nenek masih bercerita panjang lebar, otakku terus saja memutar bayangan ayah
yang menyanyangiku dengan tulus, mencintaiku dengan sepenuh hati. Jadi.. Jadi
itulah alasannya kenapa tetanggaku bisa tahu prestasiku, memberiku ucapan
selamat dan pujian padahal aku tak pernah menceritakannya pada mereka. Karena…
Karena ayah. Karena ayah yang menceritakannya pada mereka. Dengan sorot mata
yang penuh dengan kebanggaan, kebahagiaan. Aku.. Aku telah salah menilainya.
“Sampai akhirnya, ketika kau pergi meninggalkan rumah. Hari-hari
ayahmu dipenuhi dengan kesedihan, rasa kesepian, kehilangan. Dia menunggumu…
Dia menunggu berita tentang kesuksesanmu. Dia percaya kamu akan pulang.”
Air mata yang sedari tadi sudah mengalir menjadi bertambah
deras. Aku menjambak rambutku kuat-kuat. Cukup! Cukup… Semakin banyak
kenangan-kenangan hitam putih yang muncul dalam pikiranku, semakin terasa
menyakitkan. Menyesakkan.
Sekarang, tanpa diberi tahu, aku sudah tahu sendiri
jawabannya atas pertanyaanku yang tadi. Mengenai kenapa aku berani berlarian di
tengah rumput yang tinggi tanpa takut ada hewan yang bisa melukaiku atau kenapa
aku begitu kuat menerima kepergian ibu.
Itu semua karena aku masih memiliki ayah. Ayah yang tidak
pernah membiarkanku terluka. Ayah yang selalu berusaha membuatku kuat, tegar
dan bisa kembali ceria seperti sedia kala walaupun ayah sendiri sedang putus
asa, sedih, kecewa, lelah, namun dia tak pernah membiarkanku melihat itu semua
darinya. Tak akan pernah…
“Dan, sekarang, apakah menurutmu ayahmu adalah ayah yang buruk?”
Kali ini, aku tidak punya alasan lain. Jawaban lain selain
dengan menggelengkan kepala. Tidak.. Ayah terlalu baik. Aku telah menjadi anak
yang sangat buruk untuknya.
Tak beberapa lama kemudian, nenek pun ikut terisak. Beliau
menepuk pundakku dan lalu berkata, “Fikri, terima kasih.. Terima kasih..
Setidaknya, kamu telah membuat ayahmu bahagia mendengarnya.”
DAARR
Ayah? Jadi, ayah ada disini? Dimana dia sekarang?
“Fikri..” panggil nenek sekali lagi.
“Apa?”
“Ayahmu.. sudah meninggal
sebulan yang lalu.”
Aku bangkit berdiri di depan makam sebagai penghormatanku kepada ayah. Disini,
tepat di hari Natal ini, aku mengingat kembali akan semua yang telah ayah
lakukan untukku. Semuanya..
Kalau boleh, aku ingin menangis keras. Namun… Aku tak ingin
membuat ayahku bersedih. Jika sewaktu ibu pergi ayah tak mau melihatku menangis
apalagi sekarang? Aku berusaha sekuat mungkin agar air mata itu tak terjatuh.
“Merry Christmas, Dad” Ujarku sembari menangis
Selesai berdoa, nenek berdiri dan melemparkan tatapannya ke
arahku seraya berkata, “Ayo nak, ikutku”
Tanpa berbasa-basi lagi, aku menganggukkan kepala dan
mengikutinyaa. Ternyata nenek ingin membawaku ke kamar ayah. Dibukanya pintu
lemari ayah perlahan-lahan sampai terlihat beberapa tumpukan kado disana. Aku
membelalak kaget. Untuk siapa semua itu?
“Kakak, selamat hari natal”. Ini semua hadiah untukmu dari
Ayahmu yang telah ia kumpulkan selama 8 tahun. Setiap hari natal, ia
membuatkannya untukmu.”
Kemudian, nenek meninggalkanku sendirian di kamar ayah.
Kedua mataku memandang tumpukan kado itu. Di setiap kado itu terdapat greeting
card bertuliskan, “Merry Christmas.”
Perlahan-lahan, aku membuka semua kado tersebut dan terkejut
ketika tahu bahwa isinya adalah barang-barang yang pernah kuminta dulu pada
ayah namun belum bisa ia turuti pada saat itu. Tak kusangka, ternyata, ayah
masih mengingatnya dan ia mewujudkannya sekarang dengan gajinya yang sedikit.
Semua kado itu dibungkus dengan sangat rapi menunjukkan kesungguhan dan
ketulusan hati ayah pada saat memberikan hadiah itu untukku.
Ayah… Aku.. Aku ijin menangis. Sebentar saja.. Untuk
terakhir kali.
Tetes demi tetes air mata yang tadi sudah mengering menjadi
basah kembali. Semalaman itu aku menangis. Menangis di kamar ayah.
Ayah… Beristirahatlah dengan tenang. Dengan bahagia. Sudah
cukup kau merawat anak kurang ajar seperti aku ini. Sudah cukup, Ayah.. Sudah
cukup..
“Maafin papah yah, ya… papah
sering meninggalkanmu sendirian di rumah. Kamu pasti kesepian. Maafin
papah ya…”
Tubuh anak itu hanya
diam tak bergeming. wajahnya dia hadapkan, menatap wajah ayahnya yang menunduk.
“Ayah punya jajanan. Nanti, kalau lapar dimakan aja. Tapi
jangan banyak-banyak. Nanti sakit perut.”
Dia masih tidak bergeming. Diam. Menatap ayahnya
dalam-dalam.
“Ayah janji. Ayah akan pulang secepatnya. Nanti ayah akan
masak buat makan malam nanti. Kita makan bersama-sama ya… Oke?”
Beliau pun mengulurkan tangannya, mengusap rambut anak itu
dan meninggalkan anak itu di rumah sendirian. Dia tidak akan pergi lama-lama.
Karena dia tahu ada seseorang yang paling berharga sedang menunggunya di rumah.
Dia tidak akan membiarkan seseorang itu sendirian. Kesepian..
Jangan sedih. Ayah pergi sebentar. Nanti, kita akan
bersama-sama lagi.
Afoanwflnalv awvnwhvlnawnvnaa 3g3 g3g, INI CERITA YANG BIKIN
GW NANGIS… PLEASE.. AHHHHHHHHHH, YES YES YES YES YES YEESSSSS……
WHUUUU…. OKAY ^^/ YES
SELSAI 1000% PUKUL 5.10PM 17 AGUSTUS 2015 DIKAMAR MAMAH.






0 komentar:
Posting Komentar