Selasa, 18 Agustus 2015

TOKYO (Cerpen Sedih)

Tokyo… 
Seperti biasa, kota ini selalalu terlihat begitu indah.  Indah, romantis..  Sudah jam 10 malam namun Tokyo masih begitu ramai  dengan warna warni toko toko dan kumpulan manusia dijalan,  Tak peduli pada dinginnya malam pra-natal.
Natal…  hah, sebentar lagi aka nada perayaan natal besar besaran di Tokyo aka ada perayaan natal yang sangat spektakuler  yang diselanggarakan di Tokyo dengan pesta kembang api dll.. ¬Bodo amat, aku tidak tertarik. Bagiku, hari Natal sama seperti hari lain. Datar. Tak ada istimewanya. Tapi, mengapa orang-orang begitu antusias menyambut Natal? Mereka bilang natal adalah hari yang indah, penuh keceriaan, kegembiraan, cinta.. Apalagi jika berkumpul dengan keluarga.

Aku tak mengerti..  Tak akan pernah mengerti karena aku sendiri tak pernah merayakan Natal. Ibuku sudah meninggal sedangkan ayahku.. Cih, boro-boro merayakan Natal dengannya, mengobrol saja kami sangat jarang. Beliau lebih sering menghabiskan waktu dengan alkohol dan pulang larut malam. Ia  tak pernah bertanya tentang apa yang aku rasakan, aku pikirkan. Jujur aku kesepian.
Sampai akirnya, setelah lulus SMA aku memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah sembari kerja paruh waktu. Ya, melakukan apapun yang aku suka, aku inginkan dengan uang hasil keringatku sendiri. Hingga akhirnya aku bisa berada di kota Tokyo ini dengan hasil jerih payahku sendiri. Hingga sampai saat ini aku tidak kembali ke rumah sama sekali..

Manikmati biscuit stik sembari meminum coklat panas adalah cara terbaik bagiku untuk menikmati libur cuti natal yang diberi perusahaan kepadaku. Ah, sudah lama aku tak sesantai ini. Ketika aku sedang menikmati makanan semari bermalas malasan tiba tiba telpon apartemen ku berbunyi. Akhirnya aku berjalan menuju telpon dengan jalan malas
 
“Halo?” kataku dengan suara berat, malas.
“Halo, Tn Fikri. Saya resepsionis APARTEMENT. Ingin mengkonfirmasi ada seseorang yang ingin bertemu 

dengan anda. Namanya, Dilla. Apa benar anda mengenalnya?”
Beberapa detik aku terdiam sembari berfikir, apakah aku punya kenalan yang bernama dilla?

“Um, siapa dia ? rasanya saya tidak mengenalnya”

“Apakah anda sudah yakin tidak mengenal wanita yang bernama Dilla ?”

Sekali lagi, aku mencari cari nama “dilla” didalam memori otakku, mencoba mengingat siapa dia. Akhirnya aku ingat akan seorang gadis lucu yang bisa membuatku tertawa lepas saat masih kecil, dia adalah sahabatku.
“Ohh.. iya iya, saya mengenalnya. Suruh ia menunggu di loby nanti saya akan kesana untuk menjemputnya” Jawabku menutup pembicaraan sembari berlari menuju loby
Dilla, sudah lama kita tidak bertemu, aku merindukannya. Tapi bagai mana bisa ia menemukan ku di kota Tokyo yang padat akan penduduk ini ? ucapku dalam hati
Tak sabar, aku keluar lift dengan tergesa gesa dan menemukan sesosok wanita cantik berkulit putih tengah melambaikan tangannya kearahku sembari tersenyum manis. Ternyata ia tidak berubah.

“Dilla..” kataku dengan mata yang berbinar-binar. Sudah lama aku merindukan pertemuan seperti ini. 

“Bagaimana bisa kamu nemuin aku disini?”

“Mmm.. ada deh, gak susah kok nyari imgran dari Indonesia di jepang. Auulll…..” Jawabnya sembari tersenyum
Aul, Sudah lama aku tidak dipanggil dengan nama itu.

“Nah, kan kamu udah sampe disini. Gimana kalo kita makan dulu, aku tau tempat makan yang enak “ Jawabku sebari tersenyum
Tak perlu menunggu lama, dia langsung menganggukkan kepalanya. “Iya, sekalian ada sesuatu yang mau aku 
omongin”

Nanyain kabar aku ?
Hah, menanyakan kabarku ? itu tidak mungkin, Bahkan untuk sekedar memikirkan ku saja itu tidak mungkin, Mungkin ia juga tidak mengharapkan aku kembali kerumah. Mungkin saat ini ayahku membenciku, tidak maksudku ayahku pasi sangat membenciku..
Aku tertawa kecut sembari meminum coklat panas yang telah ku pesan.

Dilla menggelengkan kepalanya sembari berkata, “Aku ngga bercanda, Aul.Aku serius. Ayah kamu bener bener kangen sama kamu. Bener Aul.. Setiap hari dia duduk di teras rumah, nungguin kamu kalau-kalau kamu datang ke rumah dengan wajah murung. Setiap hari, Aul.. Setiap hari..”
Dilla menekan beberapa kata yang membuat hatiku memberontak. Menolak. “Untuk apa dia melakukan hal seperti itu? Seharusnya, dia tahu bahwa aku tak akan pulang ke rumah.”

Jari jari dilla menggenggam erat cangkir minuman yang sedari belum ia minum. Kepalanya menunduk dalam. Dia menggigit bibirnya sendiri. Tak beberapa lama kemudian, dia terisak kecil. “Tentu saja dia melakukan itu! Karena.. Karena kamu adalah ‘sesuatu’ yang harus dia lindungi, ‘sesuatu’ yang harus dia jaga, ‘sesuatu’ yang sangat ia cintai.”

Kedua mataku membelalak kaget. Tertegun. Rahangku mengeras, tak tahu harus berkata apa lagi.
“Pulanglah.. Ayahmu masih menuunggumu sampai sekarang ini. Detik ini. Dia pasti akan sangat senang kalau kamu datang ke rumah. Sekali saja untuk Natal ini.” Dilla melanjutkan perkataannya lagi. Kali ini, aku bisa melihat air mata membasahi kedua pipinya. Aku menarik napas panjang. Mengapa Dilla ingin sekali aku pulang ke rumah?
Aku menggigit  jari ku sambil berfikir.  “Baiklah, aku akan pulang.” Putusku pada akhirnya dengan terpaksa.
Dilla berhenti menangis. Dia menatapku lekat-lekat. “Benarkah?”
Aku mengangguk malas. Dia tersenyum tipis dengan air mata yang masih basah.
Aku memaksakan diriku untuk tersenyum. Kemudian. Dilla  bangkit berdiri dan berpamitan padaku. “Sudah jam 12 siang. Aku harus pergi ke bandara sekarang. Terima kasih sekali lagi kamu sudah mau mendengarkanku.”

“E-eh, perlu aku antar?” kataku menawarkan diri.
Dilla menggeleng, “Engga usah, makasih. Sampai jumpa Aul. Kita ketemu lagi di Indonesia yah .”
Kemudian, aku melihat tubuh mungilnya pergi melewatiku dan menghentikan taksi di depan. Memberikanku lambaian tangan lalu pergi.

Sementara aku. Aku tidak langsung beranjak dari tempat duduk. Sejenak, aku mencerna semua perkataan dilla . 
Ternyata, penyakit kesotoyan-nya itu belum hilang sejak dulu. Dari kecil, ia memang selalu memberitahukanku tentang hal-hal baik yang ayah pikirkan tentangku. Namun, aku selalu menyangkalnya dan tertawa kecil. It’s just in your imagination, my best friend. Just only in your imagination.
Bagaimana bisa aku mempercayainya jika setiap aku pulang ke rumah, kesunyianlah yang pertama kali menyambutku. 
Tidak ada kata-kata sambutan yang manis seperti yang biasanya orangtua katakan pada anaknya setiap pulang ke rumah. Aku selalu menerima penghargaan tanpa ucapan selamat atau apapun dari ayah. Ayah sibuk dengan dunianya sendiri. Hingga akhirnya, aku merasa tidak dihargai lagi olehnya bahkan aku sempat meragukan statusku sebagai anak kandungnya. Tahun demi tahun kucoba untuk bertahan. Melalui semua itu bersama ayah. 
Akan tetapi, beliau tak kunjung berubah. Malah, aku semakin merasa kesepian.
Hingga akhirnya, pada kelas 2 SMA, aku memutuskan untuk mencari kerja sambilan. Menabung uang supaya bisa kujadikan biaya hidup ketika aku pergi dari rumah ayah nanti dan mewujudkan apa yang aku cita-citakan. Sampai akhhirnya, aku menemukannya.. di sini.. di kota Tokyo. Setelahnya, aku tak pernah pulang dan memang aku tak pernah berencana untuk pulang ke rumah. Aku benci dia…


Aku tak percaya. Aku benar-benar melakukan ini. Hal yang dulunya tak pernah sedikit pun terbesit di benakku.
15 july aku kembali keindonesia
Keluar dari bandara dan melihat keadaan kota Tangerang. Sungguh, 7 tahun akudi Tokyo , kota ini telah melakukan banyak perubahan. Membuatku yang selama 18 tahun telah dibesarkan di Indonesia  ini merasa asing di tanah kelahirannya sendiri. Kuhirup udara dalam-dalam. Ah.. Bau ini.. Bau yang sudah lama tak kuhirup. Bau korupsi *Canda
Akan tetapi, tujuanku ke sini bukan untuk memperhatikan antara persamaan dan perbedaannya keadaan Indonesia  yang dulu dengan yang sekarang. Aku kembali untuk Dilla . Ya, untuk Dilla  bukan untuk ayah. Aku berdiri mematung di pinggir jalan raya, menunggu taksi kosong yang bisa kutumpangi dan bertemu dengan nenekku yang sudah menungguku


Aku turun dari taksi bersama dengan nenekku. Aku tak mengerti kenapa beliau membawaku kesini dan bukan langsung ke rumah. Mengikuti nenek dengan langkah yang malas, Tak bersemangat. Kami sekarang berada di Jakarta. Udara sangat panas. Aku berjalan sembari melihat lingkungan di sekitarku. Tunggu dulu! Aku merasa familiar dengan ini. Tapi, apa pernah dulu aku kesini?
Nenek menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Tatapannya memandang ke arah taman yang begitu idah “Bunga bunganya indah yah,  Kamu juga sewaktu kecil senang bermain disini loh…”
Aku tersentak. Itu artinya aku memang pernah kesini. Tapi, kapan? Sementara aku masih bertanya-tanya, nenek mengajakku duduk di sebuah pondok kecil, di tepi padang bunga. Mau tak mau aku mengikutinya. Sejenak nenek tersenyum, masih dengan kedua mata yang memandang padang bunga itu. “Pertama kali kamu kesini ketika umurmu 11 tahun, ingat?”

Tiba-tiba, sebersit bayangan pun muncul di dalam otakku. Aku seperti melihat padang bunga itu, indah dengan bunganya yang berayun-ayun tertiup angin, disana aku tertawa lepas. Sangat bahagia. Berlari kesana dan kemari tanpa menghiraukan rumput panjangnya yang bisa saja menyembunyikan hewan reptil mengerikan. Entahlah… Aku tak tahu kenapa aku bisa berani seperti itu. Mengingatnya aku jadi tersenyum sendiri.

“Tepatnya, setelah ibumu meninggal.” Lanjut Nenek. Membuat senyumanku memudar begitu saja. “Tapi, nenek salut sama kamu. Kamu masih ceria seperti biasa, tegar. Buktinya kamu masih bisa bermain disini dengan tertawa lepas.” Puji nenek dengan menyunggingkan senyum dan menepuk pundakku sesaat.
Benar juga. Pada saat ibu meninggal, aku hanya menangis pada hari itu. Namun, setelahnya, aku kembali ceria, seperti tidak terjadi apa-apa.

“Fikri…” panggil nenek.

“Ya?”

Nenek menghela napas sejenak, “Apakah kamu pikir ayahmu itu jahat?”
Mengingat semua yang telah ayah lakukan untukku. Mengacuhkanku, selalu sibuk dengan dunianya sendiri tentu saja tanpa berpikir panjang aku menjawabnya, “Ya..”
Lagi, nenek menghela napasnya. Kali ini lebih panjang. “Setelah kematian ibumu, ayahmu menjadi putus asa karena kehilangan salah satu orang yang paling dia cintai. Akan tetapi, dia tidak bisa terus putus asa sebab dia tahu bahwa ada satu orang lagi yang paling dia cintai masih bersama dengannya, membutuhkan kasih sayang orangtua, dan membutuhkan bimbingan untuk bisa menjadi pria sejati. Orang itu adalah… kamu.”
Aku tersentak kaget. Aku ingin mengelak perkataan nenek namun rasanya mulutku terasa terkunci, sulit untuk digerakkan. Entah kenapa, hatiku rasanya seperti mengatakan suatu pembenaran.

“Pada hari itu, ayahmu berjanji pada nenek akan membuatmu menjadi pria yang kuat, yang ceria juga sehat dan supaya kamu bisa meraih semua cita-citamu. Dan, sejak itulah, ayahmu berjuang paling keras seumur hidupnya. Dia keluar dari pekerjaannya yang bergaji besar untuk mencari pekerjaan lain yang memiliki banyak waktu luang. Agar dia bisa menjagamu, menemanimu. Dia selalu membelikanmu mainan dan makanan dengan uangnya yang sedikit dan menabung sisa uang yang dia miliki untuk pendidikanmu. Sedangkan ayahmu? Dia hanya makan setelah kamu makan sampai kenyang.” Cerita nenek.
Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Kenangan-kenangan masa kecilku dulu bersama ayah seperti berputar kembali. Mainan, jajan, cinta, kebahagiaan, tawa.. kenapa aku bisa melupakan semua itu?

“Dia paling suka natal. Karena hari Natal adalah hari dimana dia bisa bersama denganmu seharian. Mengajakmu berjalan-jalan. Ayahmu  senang bisa membuatmu bahagia. Namun, lambat laun kondisi seperti itu juga membuat ayahmu  sangat kelelahan sehingga ayahmu  lari ke alkohol. Hingga akhirnya, ketika kau bertumbuh dewasa, kabarnya di antara kau dan ayahmu  tercipta sebuah jarak. Kalian tak lagi bisa bersama terus-menerus seperti dulu. Kau terlihat enggan berbicara lagi dengan Ayahmu sehingga ayahmu pun memilih untuk diam karena takut mengganggumu. Meskipun begitu, dia tetap memperhatikan keadaanmu. Mencintaimu walau hanya dalam diam. Dia senang bisa melihatmu tumbuh semakin dewasa, semakin tampan dan semakin pintar. Kau tahu? Dia selalu membanggakanmu dengan para tetangga, pada nenek.”
Aku masih diam. Tak sanggup berkata-kata lagi sementara nenek masih bercerita panjang lebar, otakku terus saja memutar bayangan ayah yang menyanyangiku dengan tulus, mencintaiku dengan sepenuh hati. Jadi.. Jadi itulah alasannya kenapa tetanggaku bisa tahu prestasiku, memberiku ucapan selamat dan pujian padahal aku tak pernah menceritakannya pada mereka. Karena… Karena ayah. Karena ayah yang menceritakannya pada mereka. Dengan sorot mata yang penuh dengan kebanggaan, kebahagiaan. Aku.. Aku telah salah menilainya.

“Sampai akhirnya, ketika kau pergi meninggalkan rumah. Hari-hari ayahmu dipenuhi dengan kesedihan, rasa kesepian, kehilangan. Dia menunggumu… Dia menunggu berita tentang kesuksesanmu. Dia percaya kamu akan pulang.”
Air mata yang sedari tadi sudah mengalir menjadi bertambah deras. Aku menjambak rambutku kuat-kuat. Cukup! Cukup… Semakin banyak kenangan-kenangan hitam putih yang muncul dalam pikiranku, semakin terasa menyakitkan. Menyesakkan.
Sekarang, tanpa diberi tahu, aku sudah tahu sendiri jawabannya atas pertanyaanku yang tadi. Mengenai kenapa aku berani berlarian di tengah rumput yang tinggi tanpa takut ada hewan yang bisa melukaiku atau kenapa aku begitu kuat menerima kepergian ibu.
Itu semua karena aku masih memiliki ayah. Ayah yang tidak pernah membiarkanku terluka. Ayah yang selalu berusaha membuatku kuat, tegar dan bisa kembali ceria seperti sedia kala walaupun ayah sendiri sedang putus asa, sedih, kecewa, lelah, namun dia tak pernah membiarkanku melihat itu semua darinya. Tak akan pernah…

“Dan, sekarang, apakah menurutmu ayahmu  adalah ayah yang buruk?”
Kali ini, aku tidak punya alasan lain. Jawaban lain selain dengan menggelengkan kepala. Tidak.. Ayah terlalu baik. Aku telah menjadi anak yang sangat buruk untuknya.
Tak beberapa lama kemudian, nenek pun ikut terisak. Beliau menepuk pundakku dan lalu berkata, “Fikri, terima kasih.. Terima kasih.. Setidaknya, kamu telah membuat ayahmu bahagia mendengarnya.”
DAARR
Ayah? Jadi, ayah ada disini? Dimana dia sekarang?

“Fikri..” panggil nenek sekali lagi.

“Apa?”

“Ayahmu.. sudah meninggal sebulan yang lalu.”


Aku bangkit berdiri di depan makam  sebagai penghormatanku kepada ayah. Disini, tepat di hari Natal ini, aku mengingat kembali akan semua yang telah ayah lakukan untukku. Semuanya..
Kalau boleh, aku ingin menangis keras. Namun… Aku tak ingin membuat ayahku bersedih. Jika sewaktu ibu pergi ayah tak mau melihatku menangis apalagi sekarang? Aku berusaha sekuat mungkin agar air mata itu tak terjatuh.
“Merry Christmas, Dad” Ujarku sembari menangis
Selesai berdoa, nenek berdiri dan melemparkan tatapannya ke arahku seraya berkata, “Ayo nak, ikutku”
Tanpa berbasa-basi lagi, aku menganggukkan kepala dan mengikutinyaa. Ternyata nenek ingin membawaku ke kamar ayah. Dibukanya pintu lemari ayah perlahan-lahan sampai terlihat beberapa tumpukan kado disana. Aku membelalak kaget. Untuk siapa semua itu?
“Kakak, selamat hari natal”. Ini semua hadiah untukmu dari Ayahmu yang telah ia kumpulkan selama 8 tahun. Setiap hari natal, ia membuatkannya untukmu.”
Kemudian, nenek meninggalkanku sendirian di kamar ayah. Kedua mataku memandang tumpukan kado itu. Di setiap kado itu terdapat greeting card bertuliskan, “Merry Christmas.”
Perlahan-lahan, aku membuka semua kado tersebut dan terkejut ketika tahu bahwa isinya adalah barang-barang yang pernah kuminta dulu pada ayah namun belum bisa ia turuti pada saat itu. Tak kusangka, ternyata, ayah masih mengingatnya dan ia mewujudkannya sekarang dengan gajinya yang sedikit. Semua kado itu dibungkus dengan sangat rapi menunjukkan kesungguhan dan ketulusan hati ayah pada saat memberikan hadiah itu untukku.
Ayah… Aku.. Aku ijin menangis. Sebentar saja.. Untuk terakhir kali.
Tetes demi tetes air mata yang tadi sudah mengering menjadi basah kembali. Semalaman itu aku menangis. Menangis di kamar ayah.

Ayah… Beristirahatlah dengan tenang. Dengan bahagia. Sudah cukup kau merawat anak kurang ajar seperti aku ini. Sudah cukup, Ayah.. Sudah cukup..


“Maafin papah yah, ya… papah  sering meninggalkanmu sendirian di rumah. Kamu pasti kesepian. Maafin papah ya…”
Tubuh  anak itu hanya diam tak bergeming. wajahnya dia hadapkan, menatap wajah ayahnya yang menunduk.
“Ayah punya jajanan. Nanti, kalau lapar dimakan aja. Tapi jangan banyak-banyak. Nanti sakit perut.”
Dia masih tidak bergeming. Diam. Menatap ayahnya dalam-dalam.
“Ayah janji. Ayah akan pulang secepatnya. Nanti ayah akan masak buat makan malam nanti. Kita makan bersama-sama ya… Oke?”
Beliau pun mengulurkan tangannya, mengusap rambut anak itu dan meninggalkan anak itu di rumah sendirian. Dia tidak akan pergi lama-lama. Karena dia tahu ada seseorang yang paling berharga sedang menunggunya di rumah. Dia tidak akan membiarkan seseorang itu sendirian. Kesepian..
Jangan sedih. Ayah pergi sebentar. Nanti, kita akan bersama-sama lagi.





Afoanwflnalv awvnwhvlnawnvnaa 3g3 g3g, INI CERITA YANG BIKIN GW NANGIS… PLEASE.. AHHHHHHHHHH, YES YES YES YES YES YEESSSSS……
WHUUUU…. OKAY ^^/ YES 

SELSAI 1000% PUKUL 5.10PM 17 AGUSTUS 2015 DIKAMAR MAMAH.

0 komentar:

Posting Komentar